PS; yang udah baca blog / tulisan aku.. Tolong minta follow account IG aku yah dyahdeedee09 & Twitter @dyahdeedee09 jadi biar makin semangat nulisnya. Kamsahamnida.

Rabu, 25 Oktober 2017

Sinopsis Because This My First Life Episode 5 Part 1

PS : All images credit and content copyright : TVN
Ho Rang menerima telp Ji Ho kalau baru saja sampai dan meminta agar santai saja dalam perjalanan, saat masuk cafe Soo Ji sudah duduk menunggu. Keduanya saling menatap sinis dan duduk saling memberikan punggung.  Ji Ho akhirnya datang melihat keduanya.
“Apa Kalian tadi datang bersama?”kata Ji Ho.
“Apaan ini? Kukira Cuma kita berdua saja yang ketemuan.” Ucap Ho Rang kesal melihat Soo Ji
“Siapa kau berani bilang begitu? Kau tak bilang ke aku, kalau dia datang.” Ucap Soo Ji kesal
“Kalau aku bilang, maka kau pasti tak datang. Tapi kenapa kalian duduk bersebelahan.” Ejek Ji Ho
“Aku malas saja lihat mukanya.”kata Ho Rang, Soo Jin mulai marah.
“Kalian tahu sendiri, aku... ada yang ingin kukatakan ke kalian... Jadi begini..” kata Ji Ho gugup lalu menuangkan minum untuk temanya lebih dulu. Keduanya ikut merasakan gelisah apa yang akan dikatakan temanya dengan wajah serius.
“Begini... Aku...” ucap Ji Ho terlihat gugup ingin memberitahu kalau akan menikah. 

Sang Goo memberitahu Setelah mengaplikasikan SEOm maka mereka  membahas pemasukan dan bertanya apakah Ada lagi yang mau ditambahkan. Se Hee melihat bagan dalam tabnya kalau harus mengatakan pada orang yang dikenalnya, lalu mengangkat tangan.
“Sewaktu makan malam  tim terakhir itu..., berapa dari kalian yang main taruhan soal keseksualitasku?” ucap Se Hee. Sang Goo mencoba mengelak kalah mana main taruhan seperti itu seperti tak punya kerjaan.
“ Siapa yang taruhan kalau aku homo?” kata Se Hee. Semua pegawai laki mengangkat tangan.
“Lalu Yang taruhan kalau  aku normal?” kata Se Hee. Bo Mi langsung mengangkat tangan. Se Hee bertanya siapa berpikir aseksual. Sang Goo refleks mengangkat tangan dan langsung menurunkan tanganya.
“Selamat, Bo Mi... Aku mau menikah.” Kata Se Hee. Semua melonggo kaget mendengarnya. Sang Goo benar-benar tak percaya temanya yang akan menikah.
“Ayo Bayar taruhannya. 50 ribu.” Kata Bo Mi seteleh Se Hee keluar dari ruangan. 


Sang Goo mengejar Se Hee dari ruangan untuk bicara bersama,  dan berpikir kalau mungkin marah karena mereka taruhan. Se Hee langsung bertanya apakah Sang Goo sudah bayar 50 ribu. San Goo terlihat tak percaya apakah Se Hee itu memang mau menikah.
“Apa Menikah sungguhan? Marriage? Wedding? Pemberkatan nikah?” kata Sang Goo. Se Hee membenarkan.
“Apakan dengan seorang wanita?” kata Sang Goo masih tak percaya. See Hee mengangguk.
“Hei.. Jangan buat aku tertawa! Mana bisa kau menikah? Seorang aseksual mana  bisa menikah. Apa Pikirmu aku percaya?  Pasti pernikahan pura-pura, 'kan? Kau boleh saja bohongi orang, tapi aku tidak.” Ungkap Sang Goo yang sangat mengenal Se Hee.
“Dia cantik.... Sangat cantik” ungkap Se Hee lalu berjalan pergi. Sang Goo melonggo kaget tapi akhirnya berteriak bahagia.
“Se Hee memang jatuh cinta... Se Hee akhirnya jatuh cinta!” jerit Sang Goo bahagia. 


Dua teman Ji Ho kaget kalau temanya akan menikah, dengan pemilik rumah. Ji Ho tahu temanya pasti sangat kaget, Soo Jin ingin tahu kapan mereka  pacaran. Ji Ho mulai gugup mengaku  cuma pacaran  kurang lebih sebulan atau 2 bulan.
“Jadi maksudnya sejak kau pindah ke rumah itu, apa kalian pacaran?” kata Ho Rang. Ji Ho pikir seperti itu.
“Apa Sejak dari situ kalian pacaran?  Tapi kenapa kau tak  cerita? Katamu, tak ada apa-apa di antara kalian berdua. Benar, 'kan?” kata Ho Rang. Soo Jin juga merasa aneh karena Ji Ho yang menyangkal.
“Itu karena kami baru pacaran. Dan Aku merasa malu mau cerita-cerita pada kalian.” Akui Ji Ho
“Tapi kalian mau menikah secepat ini?” kata Soo Jin tak yakin. Ji Ho pikir Banyak orang menikah dengan cepat.
“Itu 'kan orang lain... Kau bukan kebanyakan orang. Kau itu Ji Ho.” Ucap Soo Jin sangat mengenal temanya. Ji Ho ingin tahu memang kenapa dirinya.
“Kau itu butuh berbulan-bulan buat dekat sama orang dan Aneh kau menikah secepat ini.” Kata Soo Ji.
“Suatu hubungan cinta tak selalu mengandalkan waktu mereka saling mengenal. Jadi... Walaupun kami baru kenal..., kurasa dia orang yang kubutuhkan dalam hidupku...” kata Ji Ho. Soo Ji mulai aneh saat Ji Ho mengatakan Butuh.

“Mungkin kedengarannya aneh kalau kubilang aku butuh dia... padahal 'kan dia manusia... (benda hidup)...Jadi maksudku...” kata Ji Ho gugup mendengarnya.
“Aku paham... Kenapa kau menikah...” kata Ho Rang. Ji Ho panik takut kalau alasan menikah sudah bisa ditebak oleh ibunya.
“Ji Ho, kau...Kau jatuh cinta pada pandangan pertama, kan? Sewaktu pertama bertemu dia, kau langsung jatuh cinta, 'kan? Kenapa?? Apa di film sama drama juga banyak  seperti itu. Seperti ada percikan, 'kan?” ungkap Ho Rang penuh semangat.
Soo Ji juga berpikiran yang sama dengan saling mengenggam tangan, melupakan pertengkaran mereka.
“Yah, terjadi begitu saja... Sewaktu aku bertemu dia,  mataku langsung bersinar.” Akui Ji Ho agar tak membuat temanya curiga.
“Makanya kau mau menikah secepat ini.”kata Soo Ji memastikan. Ji Ho membenarkan.
“Kurasa ini takdir.” Ungkap Ji Ho dengan penuh wajah sumringah menyakinkan. 

Ji Ho duduk di dalam bus mengingat saat mengatakan “Kurasa ini takdir.” Ia seperti ingin muntah dan sudah gila mengatakan hal itu. Ia merasa aklau Setelah menulis beberapa drama jadi makin mahir saja berakting.
Akhirnya Ia turun dari bus, dan See Hee sudah menunggu di halte dengan dua tas besar. Keduanya saling memberikan senyuman, Se Hee menunjukan jalan dan Ji Ho mengikutinya dengan membawa sebuket bunga. 

Keduanya berjalan bersama, Ji Ho bertanya Se Hee apakah sudah memberitahu rekan kerjanya.  Se Hee menganguk kalau tadi ada rapat jadi sekalian memberitahu mereka. Ji Ho ingin tahu apakah teman Se Hee kelihatannya tak percaya
“Ternyata tanggapannya  tak terlalu berlebihan. Karena aku tadi memanfaatkan sifat alami psikologi pria.” Kata Se Hee.
“Lalu bagaimana dengan kau? Mereka 'kan sahabatmu dari kecil,  kau pasti khawatir.” Ucap Se Hee
“Aku juga sudah kasih tahu mereka.” Kata Ji Ho. Se Hee ingin tahu Ji Ho mengunakan trik apa.
“Aku bilang ke mereka kalau ini tak... Maksudku.. Aku bilang ke mereka... kalau aku beruntung. Aku pakai metode storytelling. Tak kusangka jadi penulis drama, ada untungnya juga seperti ini.”ungkap Ji Ho. Se Hee pun menganguk mengerti. 

Ji Ho sudah ada di depan rumah dengan papan nama [Nam Hee Bong]. Se Hee mengatakan mereka masuk dan memastikan kalau Ji Ho tak masalah. Ji Ho mengaku kalau akan berusaha terbaik.
“Ibumu pasti sudah menonton dramaku...,jadi kurasa takkan ada masalah. Adapun, ayahmu...” ucpap Ji Ho terlihat gugup.
“Tak perlu hiraukan dia.” Kata Se Hee dan keduanya pun masuk rumah. 

Ji Ho masuk rumah yang terlihat sangat rapi, ada beberapa foto ibu Se Hee dan juga mesin jahit model lama. Ia sudah tahu Ibu dari Se Hee bernama Cho Myeong Ja.
“Dia berasal dari Jongno, di Seoul, lahir tahun 1955. Dia ingin dianggap sebagai istri baik dan ibu yang bijak. Dia adalah seorang ibu rumah tangga.” Gumam Ji Ho sambil mengamati bagian dalam rumah.
“Apa Kau sudah sampai?” ucap Nyonya Cho menyapa anaknya. Se Hee menanyakan kabar ibunya lebih dulu.
“Dia ingin masalah pernikahan anaknya cepat teratasi agar keluarganya bisa tenang. Dia tipikal ibu yang selalu bertindak apa yang menurutnya aman.” Gumam Ji Ho melihat wajah ibu Se Hee.
“Ini Ji Ho yang kuceritakan.” Kata Se Hee. Ji Ho menyapa ibu mertuanya lebih dulu dan Nyonya Cho membalasnya.
“Aku tak yakin apa Ibu suka ini bunga untukmu” kata Ji Ho. Nyonya Cho terlihat senang mendengarnya.
“Sekarang Mana ada wanita yang benci bunga. Dan Baunya enak. Sudah lama aku tak  dapat karangan bunga.” Ungkap Nyonya Cho sendang.
“Aku pakarnya menangani  karakter orang seperti dia. Dan Untunglah aku pernah bekerja cukup lama menulis drama harian.” Gumam Ji Ho bahagia.
“Ayahmu sedang liburan sama temannya. Tapi Dia sebentar lagi pulang dari bandara.” Ucap Nyonya Cho menyuruh mereka duduk. 

Ji Ho melihat sekeliling lagi dengan banyak perghargaan milik ayah Se Hee yang bernama Nam Hee Bong.
“Dia guru kewarganegaraan  selama 30 tahun, sebelum akhirnya dia pensiunan tahun lalu, setelah melayani menjadi kepala sekolah”
Ji Ho melihat papan slogan [Hormati gurumu, sayangi muridmu]. Ia pikir Ayah mertuanya adalah karakter orang berpendidikan dan ia merasa sebagai pakarnya menangani orang-orang seperti ini dan akan mudah seperti yang dibayangkan.
Tuan Nam pulang langsung melempar jas dan mendorong koper begitu saja. Nyonya Cho pun menyapa suaminya yang baru pulang. Ji Ho kaget melihat Tuan Nam benar-benar terlihat sangat dingin dan membuatnya takut. 

Mereka pun makan bersama,  Nyonya Cho mengaku tak tahu kalau sebelumnya menganggap Ji Ho cuma penyewa dan menurutnya Pasangan memang wajar saling berkunjung ke rumah masing-masing jadi tak akan salah paham dan ingin meminta pendapat suaminya. Tapi Tuan Nam hanya diam saja, begitu juga Se Hee.
“Terima kasih sudah memahami kami. Aku waktu itu malu sekali.” Ucap Ji Ho
“Tak apa. Bukankah lebih baik, si pria yang ambil tindakan dan menjelaskan duluan? Laki-laki di keluargaku ini memang agak pemalu. Tapi itu bukan hal buruk dan Lagipula pria seperti itu adalah pria yang akan melindungimu tanpa perlu basa-basi.” Ucap Nyonya Oh mengingat sebutanya Tsundere.
Tuan Nam dan Se Hee tetap tak bergeming, Ji Ho akhirnya bicara pada Nyonya Oh kalau Keluarganya dari Propinsi Gyeongsang. Nyonya Cho terlihat senang ingin tahu dimana tepatnya. JI Ho menjawab kalau kampung halamanya di Namhae.
“Omo. Jarang orang Namhae bisa  kuliah di Univ. Nasional Seoul, bahkan Tinggal di Seoul saja, susah masuk situ. benar, 'kan?” kata Nyonya Oh. Tuan Nam tetap diam
“Kenapa kalian ingin menikah?” tanya Tuan Nam. Ji Ho terlihat gugup. Nyonya Cho pikir tak ada alasan lagi.
“Anak muda menikah karena mereka saling menyukai. Pertanyaan macam apa itu?” ucap Nyonya Cho
“Kau itu 'kan lulusan  universitas bagus. Kalau kau penulis, kau pasti punya tekad akan karirmu. Lantas kenapa mendadak  kau ingin menikah? Kau pun sampai berhenti dari kerjaanmu.” Kata Tuan Nam. Ji Ho kebingungan menjawabnya.
“Cukup... Ayah saja memaksa Ibu untuk menekanku. Tapi apa yang Ayah  lakukan sekarang.” Kata Se Hee. Tuan Nam menegaskah kalau tak bertanya pada anaknya.
“Ya, jadi... Se Hee dan aku memang belum  lama saling mengenal, tapi...” kata Ji Ho disela oleh ibunya.
“Bukankah belakangan ini, pasangan... memiliki panggilan sayangnya? Kau 'kan bukan 40 tahun, tapi 30 tahun. Kenapa kau memanggil pacarmu seperti itu?” ungkap Ibu Se Hee.
“Apa ini wawancara?” keluh Se Hee. Tuan Nam piir  berhak bertanya dan menyuruh Se Hee agar jangan berlebihan.
“Kenapa Ayah bertanya kami ingin menikah?” ucap Se Hee dengan nada tinggi.
“Memangnya seorang ayah tak  boleh bertanya?” kata Tuan Nam ikut marah.
Ji Ho sempat kaget tapi akhirnya mulai memberanikan diri memanggil Se Hee “Oppa..” dengan dua jarinya memberikan tanda cinta sambil mengatakan “Aku mencintainya.”, Se Hee kaget melihat sikap Ji Ho. Ayah dan ibunya juga kaget karena ternyata Ji Ho bisa memperlihatkan perasaan pada anaknya. 

 [Episode 5: Karena ini Janji Pertamaku]
Se Hee berada di kamar menerima pesan dari ibuny  [Apa akhir pekanmu lancar  sama Ji Ho? Ibu sangat terharu hari itu. Tak Ibu sangka kalau kalian saling mencintai. Anakku , Ibu sayang kau.]  Se Hee membaca pesan dari ibunya hanya bisa mengeluh ibunya seperti sangat berlebihan. 

Ji Ho makan ramyun di meja makan melihat Se Hee keluar kamar bertanya apakah ingin olahraga. Se Hee menganguk melhat Ji Ho yang cukup telat makannya. J Ho mengaku kalau tadi kesiangan dan merasa pagak gelisah waktu  bertemu orang tua Se Hee semalam.
“Ya, kau pasti panik waktu itu.” Kata Se Hee. Ji Ho pun melakukan hal yang sama.
“Kalau kau sepanik itu...,bagaimana bisa kau bilang seperti itu?” ucap Se Hee mengingat Ji Ho dengan mudah mengatakan “Oppa... Aku mencintainya.”
“Bukannya kalimat itu dari  naskah? Karena pilihan katamu yang berani itu, aku agak kaget.” Ucap Se Hee.
“Ya... Karena kupikir ayahmu tipe orang yang blak-blakan.”ucap Ji Ho gugup. Se Hee mengaku kalau itu agak tak terduga.

“Aku pun heran, tapi itu malah berhasil.Dia biasanya bukan orang yang percaya kata-kata seperti itu.”kata Se Hee
“Kalau sepenglihatanku, ayahmu. menantikan kata-kata seperti itu dan ayahmu ingin memastikan saja. Kurasa dia ingin mengetes apa aku orang yang tepat bagi anaknya.” Kata Ji Ho
“Dalam situasi seperti itu,  tak ada yang namanya blak-blakan dibanding berkata aku mencintaimu.” Kata Se Hee. Ji Ho pikir benar kalau itu juga kata yang mudahcdiucapkan.
“Sekarang, kita hanya perlu salingbertemu orang tua kita besok.” Kata Se Hee. Ji Ho bertanya apakah setelah itu,  prosesnya selesai
“Ya, kalau tak ada kendala.” Kata Se Hee. Ji Ho berharap akalu pasti tak ada. Se Hee pun pamit untuk pergi olahraga dulu.


Ji Ho mengirimkan pesan [Apa kalian pada sibuk? Haruskah kita makan malam bersama?] Dua orang temanya sedang berbaring diatap teras,  Ho Rang memuji kalau itu sangat cantiknya. Soo Ji bertanya apa yang dilihat. Ho rang menjawab kalau itu Debu halusnya.
“Aku seperti orang gila, kan?”kata Ho Rang. Soo Ji membenarkan.
“Apa Lebih gila dari Ji Ho?” tanya Ho Rang. Soo Ji mengatakan tidak lalu membaca pesan dari Ji Ho “Soo Ji, Apa Ho Rang tak apa?”
“Dia bilang apa? Apa dia bertanya aku tak apa?” kata Ho Rang. Soo Ji membenarkan.
“Waktu dia bilang begitu, apa aku kelihatan tak baik-baik saja? Apa terlalu terlihat kalau aku iri?” kata Ho Rang. Soo Ji mengaku kalau itu  cuma sedikit.

“Ji Ho, waktu kau bertemu orang tuanya nanti, pakailah baju yang kubelikan. Oke?” tulis Ho Rang
“Aku tahu ini kedengarannya aneh..., tapi maaf aku harus menikah  di saat seperti ini.” Balas Ji Ho
Ho Rang pikir sudah menduga, lalu membalas pesan Ji Ho “Jadi merasa tak enaknya  sampai hari ini saja, kan?”. Ia heran karena Ji Ho  merasa tak enak padahal biukan ingin menikah dengan suaminya menurutnya temanya itu sangat polos. Soo Ji tak banyak berkomentar memilih untuk meminum bir saja.

“Hei, kau juga belum pernah melihatnya, 'kan?” kata Ho Rang. Soo Ji bertanya siapa maksudnya.
“Suaminya Ji Ho. Kau juga tak tahu  apa-apa, 'kan?” ungkap Ho Rang. Soo  Ji pikir mana tahu ia seperti itu.
“Sebelum mereka menikah, kita harus tahu semuanya tentang pria itu. Si polos Ji Ho itu tak menikah  sama penipu, 'kan?” kata Ho Rang khawatir.
“Kalau Won Seok pulang,  kau tanya saja dia. Dia pasti tahu banyak tentang calon suaminya Ji Ho.” Kata Soo Ji. Ho Rang terlihat menghela nafas.
“Hei.. Apa Kalian masih bertengkar?” ucap Soo Ji tak percaya. Ho Rang memberitahu kalau Won Seok sudah lima hari tak pulang.
“Apa Kau tak bisa kembalikan sofanya?” tanya Soo Ji melihat sofa sudah ada diluar rumah. Ho Rang mengatakan tak bisa.

Won Seok terus saja minum dan sudah setengah mabuk, Sang Goo mengeluh Won Seok yang  tak pulang karena Sudah tiga hari ini  minum 23 botol soju, menurutnya Organ dalanya sepertinya mau meledak. Won Seok mengatakan kalau bisa pulang kalau punya rumah dan sekarang ia tak punya rumah.
“Pulang saja ke rumah atap  yang kau beli atas namamu tapi pakai uang deposit pacarmu.”kata Sang Goo .
“Aku tak mau pulang!  Kali ini, aku benar-benar dongkol. Apad dia Tahu tidak betapa susahnya aku beli sofa itu? Aku sampai menjual keyboard wireless yang kusuka ke toko barang bekas.” Kata Won Seok.
“Apa karena itu pacarmu jadi marah-marah?” ucap Sang Goo. Wan Seok pikir sudah membelikan sofa yang dinginkan. Sang Goo berpikir menurutnya tak ada lagi selain sofa. 
“Tak tahulah. Mana bisa aku tahan sama temperamennya itu?” ucap Won Seuk.
“Apa mungkin selain sofa..., ada hal lain?” pikir Sang Goo. 


Soo Ji dan Ho Rang duduk disofa yang dibelikan Wan Seok. Ho Rang merasa tak percaya kalau Won Seok akan membeli sofa itu, menurutnya sang pacar memang polos dan Lugu sekali. Soo Ji pikir sofa yang dipilih Won Seok nyaman sekali.
“Dia memang polos. Aku sampai berusaha keras buatnya dia agak nakal sedikit saat masih jadi mahasiswa teknik selama 7 tahun. Tapi ternyata aku salah. Kurasa dia tak bisa berubah.” Ucap Ho Rang kesal

“Kenapa tidak kau langsung  minta saja dia untuk menikahimu?” ucap Soo Ji. Ho Rang mengumpat temanya sudah gila.
“Kenapa memang? Orang yang ingin kebelet  menikahlah yang harusnya mengatakan itu lebih dulu” ucap Soo Ji. Ho Rang menolak,
“Aku tak mau kelihatan seputus asa itu.” Kata Ho Rang. 


Won Seok mendengar tebakan Sang Goo tentang Lamaran menikah. Sang Goo pikir Hong Rang yang ingin sofa, rumah lalu membicarakan  rekannya. Artinya ingin menikah seperti rekannya juga, di rumah  besar dimana sofa itu bisa ditaruh. Won Seok pikir itu tak mungkin.
“Apa maksudmu? Bukannya kau sudah menjalin hubungan sama dia 7 tahun? Kalau sudah selama itu,  harusnya sudah mantap menikah.” Kata Sang Goo yakin
“Hyungnim, Ho Rang itu bukan wanita biasa. Apa kau tahu yang dia lakukan buatku saat aku masih menyusun skripsi? Dia menjaga anjing dosenku waktu dosenku ini lagi liburan. Dia pun membantu mengajari  anak si dosenku mengerjakan PR. Jadi dia pastinya tahu masalah apa yang kuhadapi sekarang.”kata Won Seok merasa Sang Goo yang tak mengenal Ho Rang.
“My god. Kita pasti kelupaan satu hal. Dia marah karena sofa itu  sofa yang dipajang di toko... Pasti karena itu.” Kata Sang Goo. Won Seok pikir benar juga.
“Hyung, bagaimana bisa kau  memikirkannya sampai situ? Kita kelupaan satu hal itu.” Kata Won Seuk lalu menyuapi sup pada Sang Goo karena meminum bir yang terasa pahit.
“Itu pasti karena sofanya yang dipajang.” Ucap Won Seok yakin. 


Ji Ho menelp ibunya berpikir kalau sudah tertidur, kalau akan datang besok pagi, karena Ada yang harus dikatakan mengenai pertemuan besok. Ayahnya tiba-tiba berbicara ditelp, Ji Ho binggung bertanya dimana ibunya.
“Entah. Tadi dia memberikan teleponnya ke Ayah. Apa Ada masalah?” kata Ayah Ji Ho. Ji Ho menjelaskan pada ayahnya sambil  keluar dari kamar berpesan pada ayahnya agar Hati-hati di jalan.

Se Hee baru pulang bertanya apakah Ji Ho baru berbiara dengan Ayahnya. Ji Ho membenarkan kalau sudah memberitahu ayahnya mereka yang takkan ada upacara pernikahan. Se Hee mengaku kalau ia juga sudah mengatakan hal yang sama pada ayahnya.
“Kupikir lebih cepat lebih baik memberitahu mereka, jadi tak ada acara spesial yang akan terjadi besok. Apa tanggapan orang tuamu, baik-baik saja?” kata Se Hee. Ji Ho mengangguk.
“Untungnya..., tak ada yang dikatakan Ayah. Mungkin itu karena adikku belum  menyelenggarakan upacara pernikahan juga. Kurasa karena itu.” Kata Ji Ho. Se Hee bisa mengerti.
“Ibuku juga tak banyak omong. Kurasa karena dia tahu biaya buat upacara pernikahan, dia agak kaget.” Kata Se Hee. Ji Ho pun bersyukur bisa mendapatkanya.
“Kalau begitu...,setelah pertemuan besok, tak ada lagi biaya, 'kan?”ucap Ji Ho. Se Hee membenarkan.
“Jadi, setelah besok, maka kita harus bicarakan soal kontrak terakhir.” Ucap Se Hee. Ji Ho pun menganguk mengerti.
“Oh, ya. Bagaimana tanggapan ibumu Setelah kupikir-pikir, saat kita bertemunya, dia tak banyak omong dan memberikan pendapat.? ” tanya Se Hee.
“Ibuku... Ibuku biasanya tak suka banyak omong. Sudah kubilang, keluarga kami itu mengutamakan laki-laki. Kalau kupikir-pikir juga,  ayahmu juga begitu. Bagaimana pendapat ayahmu?” jelas Ji Ho kembali bertanya.
“Aku tak tertarik.” Kata Se Hee. Ji Ho terlihat binggung. 


Ji Ho mengirimkan pesan pada ibunya “ Apa Jam 5 sore besok?  Kalau begitu aku jemput ke terminal besok.” Tapi ayahnya yang membalas mengerti. J Ho meminta meminta agar memakai pakaian hangat, Karena Seoul lagi musim dingin. Ayahnya kembal menjawab kalau sudah mengerti.
“Ibu, jangan lupa minum obat.” Tulis Ji Ho. Tapi ibunya tak membalas apapun.
“Kenapa Ibu tak bilang apapun? Telepon saja tadi diberikan pada  Ayah.” Ucap Ji Ho binggung akhirnya bertanya apakah ibunya sudah tidur.
Ibunya membalas kalau sudah tidur. Ji Ho heran ibunya tidur tapi masih bisa membalas pesan. Akhirnya ia berbaring di tempat tidur, berpikir kalau ibunya seperti sedang marah padanya, tapi Ji Ho tak mau memikirkan memilik untuk tidur. 

Makan malam pertemuan keluarga pun terjadi. Keluarga Ji Ho dan juga keluarga Se Hee. Tuan Yoon pikir Pernikahan adalah acara  penting dalam hidup jadi Hubungan sekarang spesial dan akan untuk menuangkan minum untuk ayah besanya, Tuan Nam pun menerimanya.
“Bukankah anak kita ini pintar-pintar? Aku agak sedih waktu dia bilang tak ada upacara pernikahan. Tapi semua orang mengalami  penurunan belakangan ini. Kurasa mereka ini masuk akal.” Kata Tuan Yoon. Tuan Nam pun setuju dengan pendapat tersebut dengan membalas minum untuk Tuan Yoon. 
“Aku bisa bayangkan dia  pasti pintar sekali bisa masuk ke Univ. Seoul,  jauh-jauh dari Namhae.” Kata Nyonya Cho
“Tidak juga. Dia sama saja seperti yang lain.” Kata Ibu Ji Ho seperti tak ingin membanggakan anaknya. Ji Ho terlihat kaget dengan ucapan ibunya.
“Dia juga sangat sopan.” Puji Nyonya Cho. Ibu Ji Ho pikir Semua orang juga begitu.
“Tak seperti anak muda belakangan ini...,dia sangat polos dan baik.” Kata Nyonya Cho. Ibu Ji Ho pikir tak seperti itu.
“Dia sama saja seperti yang lain. Dia tak dewasa sama seperti yang  lain, di saat umurnya sudah segini. Bahkan Dia juga agak egois jadi Sama saja. Dia tak ada bedanya dengan yang lain.” Kata Ibu Ji Ho tak ingin membanggakan anaknya.
Nyonya Cho sempat kaget tapi menyetujuinya saja. Tuan Yoon pikir istrinya tak perlu berkata seperti itu lalu mencoba menuangkan minuman untuk Tuan Nam. Mereka mencoba untuk akrab, Ji Ho melihat ibunya seperti menyimpan sesuatu yang tak biasa. 


Ji Ho baru saja keluar dari toilet melihat Se Hee ada di depan meja kasir, lalu bertanya apakah sudah membayarnya. Ji Ho mengangguk, karena yang dibaca di blog, kalau sebaiknya bayar lebih dulu sebelum keluar dari tempat restoran.
“Apa kita harus hitung-hitungan biayanya akhir bulan ini? Biar kita bisa bagi sama rata.” Ucap Ji Ho
“Lagipula hari ini hari terakhir kita bayar masing-masing Tapi untuk hari ini, aku  saja yang bayar.” Kata Se Hee. Ji Ho menolak karena makanan direstoran sangat mahal.
“Tapi orang tuamu sudah jauh-jauh ke Seoul. Kita juga harus menghitung biaya mereka datang dan usaha mereka.” Kata Se Hee. Ji Ho pun menganguk mengerti. 

“Kita hanya perlu mengenalkan keluarga masing-masing. Cuma melaksanakan beberapa langkah dan semuanya beres. Menikah rupanya lebih  mudah dari yang kukira. Sejujur, aku khawatir karena kupikir keluargaku takkan menanggapinya dengan baik.” Akui Ji Ho berjalan kembali ke ruangan mereka makan.
“Kalau aku, sudah menduga akan semudah ini.” Kata Se Hee. Ji Ho tak percaya mendengarnya.
“Ya.. Itu Karena kita kombinasi dua orang yang hebat. Walaupun masih mengangsur, tapi aku punya rumah. Walaupun kau tak punya pekerjaan,  tapi kau lulusan dari universitas bergengsi. Aku yakin hal seperti itu turut andil dalam menentukan keputusan.” Kata Se Hee.
“Kalau yang terakhir, aku setuju tapi apa maksudnya yang terakhir?” kata Ji Ho tak mengerti.
“Mereka ingin orang yang berpendidikan sebagai keluarga guru. Tapi mereka tak mau menganggapnya cuma sebagai menantu. Secara tak sengaja, kau memenuhi  syarat hipokritikal orang tuaku. Aku tak menyangka kalau aku dari lulusan universitas bagus bisa memberikanku  sinergi yang bagus.” Jelas Se Hee. Ji Ho pun bisa bersyukur, dan berterimakasih. 


Saat akan masuk keduanya mendengar ibu Ji Ho mulai berbicara. Ibu Ji Ho merasa tak ada yang salah dengan ucapanya. Tuan Yoon melihat istrinya seperti sedang mabuk. Ibu Ji Ho meminum satu gelas arak mengakui kalau dirinya sedang agak mabuk.
“Jadi karena aku mabuk, aku ingin  mengatakan apa yang ingin kukatakan. Kami tak mau menikahkan putri kami dengan cara seperti ini.” Ucap Ibu Ji Ho. Ji Ho terlihat kaget ibunya yang biasa pendiam bisa bicara.
“Aku ingin mereka melakukan  yang dilakukan semua pasangan menikah. Aku ingin mereka menggelar upacara pernikahan.” Tegas Ibu Ji Ho
“Mereka sudah membicarakannya.” Kata Nyonya Cho yang setuju dengan pendapat dua anaknya.
“Pendapat kita sama. Mereka harus menggelar upacara pernikahan.” Kata Tuan Nam. Ji Ho dan Se Hee hanya  bisa terdiam didepan pintu, bahkan Ji Ho tertunduk sedih memikirkanya. 


Di rumah
Tuan Yoon memarahi istrinya berpikir sudah tua dan juga sakit. Ibu Ji Ho sambil membuka kaos kakinya mengaku kalau  sebentar lagi akan  menopause. Tuan Yoon heran melihat sikap istrinya tadi karena seperti ingin menghancurkan  pernikahan anak  mereka.
“Apaan yang kuhancurkan? Mereka kelihatan congkak dari cara bicaranya.” Ucap Ibu Ji Ho.
“Memang apa yang mereka bicarakan? Mereka itu orang baik.” Kata Ayah Ji Ho
“Mereka bilang, mereka tak suka  kebanyakan kaum muda lainnya. Mereka bilang putri kita baik dan lugu.” Kata Ibu Ji Ho. Tuan Yoon pikir itu adalah pujian.
“Mereka bilang lebih baik dia di rumah,  membesarkan anak karena kalau anak dan menantu kita bekerja, nanti malah menambah kesulitan.” Kata Ibu Ji Ho. Tuan Yoon pikir itu benar
“Lalu selain itu, bagaimana bisa mereka pikir anak ini mirip aku?” kata Ibu Ji Hoo. JI Sook pikir Ibu dan kakaknya  memang mirip. Ibu Ji Ho memilih untuk masuk ke kamar dengan tatapan sinis.
Bersambung ke Part 2

PS; yang udah baca blog / tulisan aku.. Tolong minta follow account IG aku yah dyahdeedee09  & Twitter @dyahdeedee09  jadi biar makin semangat nulisnya. Kamsahamnida.

FACEBOOK : Dyah Deedee  TWITTER @dyahdeedee09 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar